Pernahkah kita sebagai guru merenung, sejak menjadi guru kehidupan kita lebih baik di bandingkan sebelumnya, terutama hal yang berkaitan dengan kesehatan mental kita? Satu pertanyaan yang menjadi pemikiran saya akhir-akhir ini, dengan begitu banyaknya permasalahan hidup yang di hadapi siapa pun, termasuk guru. Sebenarnya profesi guru bukan pilihan utama dalam hidup. Sebagaimana air yang mengalir, begitulah saya menjalani kehidupan. Mengikuti “panggilan alam”.
Pernah suatu hari saya mengunjungi salah satu guru yang hampir 16 tahun lamanya tidak pernah jumpa. Tidak ada yang berubah, kecuali pancaran kearifan di wajahnya. Saya tidak melihat perubahan fisik yang signifikan, masih tampak sama seperti ketika saya duduk di tingkat aliyah. Tampak awet muda, tetap enerjik. Terkadang dalam hati bertanya-tanya, kok bisa seperti itu ya?
Sebagai guru saya mempunyai keyakinan bahwa mengajar bukan hanya sekedar mentransfer pengetahuan saja, melainkan semua hal yang ada dalam diri kita (termasuk di dalamnya attitude, spirtual, intelegensi, moral dan emosi). Guru selain pengajar juga seorang pembelajar. Yang dipelajari bukan hanya bagaimana meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan formal atau informal, menghadiri berbagai pelatihan, berkolaborasi dan berinovasi, mampu mengembangkan intelegensi ganda dalam proses pembelajaran pada peserta didik, tetapi juga bagaimana ia mampu selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Sehingga di dalam dirinya terkumpul perilaku atau sikap yang baik, yang dapat menginspirasi dan mampu menjadi solusi ketika suatu hari menghadapi persoalan pelik seputar hubungan antara guru dengan siswa dan orang tua di sekolah.
“Bagaimana nih bu, anak saya susah sekali kalau dimintai bangun pagi. Selalu saja ketinggalan sholat subuhnya. Ujung-ujungnya saya yang ribut dengan anak”. Suatu waktu salah satu orang tua mengeluhkan kebiasaan kurang baik anaknya. Dalam menghadapi persoalan seperti ini guru tidak cukup hanya memberikan nasehat, menakut-nakuti tentang dosa dan neraka, tetapi harus mampu menyakinkan dan solusi yang diberikan dapat diterima secara logika, tentunya tetap dengan pendekatan yang persuasif.
Sebagai guru, saya pun dapat merasakan perubahan besar bagi diri saya sendiri. Menjadi pribadi yang penyabar, lebih terbuka (open minded) banyak memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berkembang secara alami. Tidak cepat memvonis. Lebih mengkedepankan dialog, mau mendengarkan. Selalu berusaha positive thinking dan memberikan yang terbaik.
Sebagai guru pembelajar, saya pun tidak akan
berhenti belajar, tidak akan pernah puas. Terkadang kekurangan bahan materi
atau metode pembelajaran yang diterapkan sudah usang, maka saya pun membutuhkan
penyegaran. Saya tidak akan sungkan untuk terlibat dalam komunitas yang berbeda
dengan mata pelajaran yang saya ampu, dengan tujuan mendapatkan hal-hal baru
untuk dapat dikolaborasikan dalam upaya memperkaya metode pembelajaran di kelas.
Tentu semuanya adalah sebuah proses menuju baik, yang akan berimbas pada akhirnya
nanti pada peserta didik. Termasuk di dalamnya
ketika saya tergabung dalam komunitas menulis.~nad
Nadiyah
Jakarta, 27 Februari 2021. Naskah pilihan dimuat dalam
Antologi Pendidikan KMA-OP 28
No comments:
Post a Comment