Education Quotes

Jendela

Friday, March 27, 2020

UN (UJIAN NASIONAL) DAN IMPLIKASINYA


Dunia pendidikan dihebohkan oleh pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Tentang upaya penghapusan Ujian Nasional diawal masa jabatannya sebagai menteri, yang disampaikan pada saat Rapat Koordinasi bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (detiknews, 11/12/2019). Menurutnya UN 2020 akan tetap dilaksanakan dengan format lama dan menjadi UN yang terakhir. Statement ini menjadi bola panas, sehingga muncul berbagai tanggapan pro dan kontra terhadap wacana ini.

Berbagai tanggapan dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional atau pendidikan, termasuk di dalamnya mantan ketua Muhammadiyah, buya Syafii Maarif dan Jusuf Kalla. Dan bagaimana menurut perfektif saya sebagai guru menanggapi hal ini?

Ada dua hal yang perlu digaris bawahi, sesuai amanat konstitusi bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Untuk itu perlu dibuat format yang jelas dan terarah dengan tidak mengenyamping apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi warga negara. Persaingan global tidak bisa kita abaikan begitu saja, sehinga disini pemerintah melalui menterinya dapat mendisain kembali hal-hal mana yang sesuai, dan mana yang tidak.

Mengenai  UN yang akan diubah jadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter nantinya, perlu diuraikan lebih jauh. Sehingga perubahan ini tidak menjadi beban baru bagi guru ke depan. Sebagaimana diketahui bahwa Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) tidak lagi berdasarkan mata pelajaran melainkan literasi dan numerasi. Literasi yang dimaksudkan adalah kemampuan menganalisis suatu bacaan serta kemampuan untuk mengerti atau memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedangkan numerasi adalah kemampuan menganalisis menggunakan angka. Selain itu, ada Survei Karakter, yang menekankan pada penguatan pendidikan karakter.

Selanjutnya semua perubahan itu tidak dilakukan di akhir jenjang sekolah seperti Ujian Nasional, melainkan di tengah jenjang. Itu berarti mulai 2021, asesmen ini diadakan saat kelas IV SD dan bukan kelas VI SD, kelas VIII SMP dan bukan kelas IX SMP, juga kelas XI SMA bukan kelas XII SMA. Tentu perubahan ini menurut penulis nantinya akan memberikan implikasi yang begitu luas bagi dunia pendidikan dan masa depan bangsa.

Kedua, ada atau tidak UN (Ujian Nasional), pada kenyataannya memang belum mampu menjawab permasalahan yang sudah ada dan menahun. Selama ini UN hanya dijadikan sekedar formalitas, sehingga hasilnya pun belum optimal kita rasakan. Karena UN yang sudah berlangsung hampir 10 tahun dinilai tidak berjalan sesuai fungsinya, adanya UN membuat mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik menjadi berkasta (berkelas).

Semula UN bertujuan sebagai poin untuk pemetaan dan perbaikan kualitas pendidikan. Pada kenyataannya UN hanya menjadi penentu kelulusan siswa. Ini berarti perubahan yang dilakukan oleh pemerintah melalui menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan loncatan besar. Keputusan ini menjadi catatan sejarah penting bagi dunia pendidikan di Indonesia, yang diharapkan membawa perubahan yang lebih berarti, bukan hanya sekedar basa-basi apalagi sebagai kelinci percobaan. Kalau hal itu dilakukan banyak hal yang nantinya dikorbankan, maka dibutuhkan kajian secara menyeluruh.

Sebagai catatan, apapun keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, menjadi perhatian kita bersama. Pendidikan sebagai langkah awal untuk membangun peradaban suatu bangsa, yang di dalamnya berkaitan dengan kelangsungan kehidupan bersama. Jangan sampai itu menjadi beban baru bagi peserta didik,  orang tua dan guru serta masyarakat. Kita pun berharap format yang nantinya dibuat harus disesuaikan dengan stakehorder dan yang juga penting adalah mampu menjawab tantangan global,  sehingga menjadikan UN dan perubahannya lebih dipahami sebagai bagian untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa.


Nadiyah, Januari 2020

Dipublikasikan dalam Buku Antologi KMA-OP 18

No comments:

Post a Comment