Dunia
pendidikan dihebohkan oleh pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem
Makarim. Tentang upaya penghapusan Ujian Nasional diawal masa jabatannya
sebagai menteri, yang disampaikan pada saat Rapat Koordinasi bersama Dinas
Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Indonesia di Hotel Bidakara, Jakarta
Selatan, Rabu (detiknews, 11/12/2019). Menurutnya UN 2020 akan tetap
dilaksanakan dengan format lama dan menjadi UN yang terakhir. Statement ini
menjadi bola panas, sehingga muncul berbagai tanggapan pro dan kontra terhadap
wacana ini.
Berbagai
tanggapan dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional atau pendidikan, termasuk di
dalamnya mantan ketua Muhammadiyah, buya Syafii Maarif dan Jusuf Kalla. Dan
bagaimana menurut perfektif saya sebagai guru menanggapi hal ini?
Ada
dua hal yang perlu digaris bawahi, sesuai amanat konstitusi bahwa pendidikan
adalah hak setiap warga negara. Untuk itu perlu dibuat format yang jelas dan
terarah dengan tidak mengenyamping apa yang menjadi hak dan kewajiban bagi warga
negara. Persaingan global tidak bisa kita abaikan begitu saja, sehinga disini
pemerintah melalui menterinya dapat mendisain kembali hal-hal mana yang sesuai,
dan mana yang tidak.
Mengenai
UN yang akan diubah jadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter
nantinya, perlu diuraikan lebih jauh. Sehingga perubahan ini tidak menjadi
beban baru bagi guru ke depan. Sebagaimana diketahui bahwa Asesmen Kompetensi
Minimum (AKM) tidak lagi berdasarkan mata pelajaran melainkan literasi dan
numerasi. Literasi yang dimaksudkan adalah kemampuan menganalisis suatu bacaan
serta kemampuan untuk mengerti atau memahami konsep di balik tulisan tersebut.
Sedangkan numerasi adalah kemampuan menganalisis menggunakan angka. Selain itu,
ada Survei Karakter, yang menekankan pada penguatan pendidikan karakter.
Selanjutnya
semua perubahan itu tidak dilakukan di akhir jenjang sekolah seperti Ujian
Nasional, melainkan di tengah jenjang. Itu berarti mulai 2021, asesmen ini
diadakan saat kelas IV SD dan bukan kelas VI SD, kelas VIII SMP dan bukan kelas
IX SMP, juga kelas XI SMA bukan kelas XII SMA. Tentu perubahan ini menurut
penulis nantinya akan memberikan implikasi yang begitu luas bagi dunia
pendidikan dan masa depan bangsa.
Kedua,
ada atau tidak UN (Ujian Nasional), pada kenyataannya memang belum mampu
menjawab permasalahan yang sudah ada dan menahun. Selama ini UN hanya dijadikan
sekedar formalitas, sehingga hasilnya pun belum optimal kita rasakan. Karena UN
yang sudah berlangsung hampir 10 tahun dinilai tidak berjalan sesuai fungsinya,
adanya UN membuat mata pelajaran yang diberikan kepada peserta didik menjadi
berkasta (berkelas).
Semula
UN bertujuan sebagai poin untuk pemetaan dan perbaikan kualitas pendidikan. Pada
kenyataannya UN hanya menjadi penentu kelulusan siswa. Ini berarti perubahan
yang dilakukan oleh pemerintah melalui menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan
loncatan besar. Keputusan ini menjadi catatan sejarah penting bagi dunia
pendidikan di Indonesia, yang diharapkan membawa perubahan yang lebih berarti,
bukan hanya sekedar basa-basi apalagi sebagai kelinci percobaan. Kalau hal itu
dilakukan banyak hal yang nantinya dikorbankan, maka dibutuhkan kajian secara
menyeluruh.
Sebagai
catatan, apapun keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, menjadi perhatian
kita bersama. Pendidikan sebagai langkah awal untuk membangun peradaban suatu
bangsa, yang di dalamnya berkaitan dengan kelangsungan kehidupan bersama.
Jangan sampai itu menjadi beban baru bagi peserta didik, orang tua dan guru serta masyarakat. Kita pun
berharap format yang nantinya dibuat harus disesuaikan dengan stakehorder dan yang juga penting adalah
mampu menjawab tantangan global, sehingga
menjadikan UN dan perubahannya lebih dipahami sebagai bagian untuk mencerdaskan
kehidupan anak bangsa.
Nadiyah, Januari 2020
Dipublikasikan dalam Buku Antologi KMA-OP 18
No comments:
Post a Comment