Secangkir
teh
Menghangatkan
aksara
Di
setiap pagi, di puisi-puisiku
Merasuk
ke jiwa
Dan
menjelma
Ke diriku yang kembali utuh~
Beberapa waktu telah berlalu, tanpa pesan. Pun tanpa notif, mengalir begitu saja. Terkadang seperti air bergemericik, sendu dan begitu indah. Ketenangan membawaku ke tempat yang begitu jauh, meski kata-kata seperti kumpulan mutiara, menunggu untuk dikais, dirangkai menjadi untaian perhiasan yang bertahta dipikiranku.
Dan … Aku pun bersiap diri, andai air datang seperti bah. Menakutkan dan membuatku tak mampu berkata-kata. Termangu, bernafaspun aku sesak. Hanya zikir yang aku lafalzkan, berbisik-bisik sampai kantuk datang. Mungkin sebagian orang menganggap tidur adalah istirahat yang menenangkan, tapi sebagian lainnya tak mampu untuk memejamkan mata hanya untuk lari dari mimpi-mimpi buruk dan menyakitkan. Betulkah demikian? Terkadang aku tak peduli!
Satu bab telah aku selesaikan. Kata-kata begitu mengasyikan, ditemani secangkir teh aku begitu sempurna. Sebagai seorang perempuan, hidup mandiri. Aku berhasil memerdekakan diri dari berbagai belenggu yang menjadi beban bagi perempuan-perempuan lain di luar sana. Mereka terjebak dalam lingkaran yang menyesakkan, tak ada pilihan selain mengikuti irama yang mereka tak pernah inginkan. Membosankan tentu, berkutat pada rutinitas yang itu-itu saja, tak ada pilihan, tidak ada jalan keluar. Terlanjur pintu-pintu telah terkunci oleh tradisi-tradisi yang memabukkan, bagi kaum yang kuasa atas diri perempuan sejak mereka bahkan sebelum dilahirkan.
Terkadang butuh jalan lain yang tak biasa, mungkin hanya secangkir teh sebagai upaya mencari solusi, pikiran liarku yang tak biasa mengingatkan. Entahlah sejak kapan aku teramat lekat dengan sajian kaum bangsawan itu. Mungkin aku menjadikan secangkir teh sebagai satu-satunya yang menenangkan, sebagai candu.
“Apakah ada yang aneh di setiap cangkir teh yang aku teguk? Ia begitu Istimewa, dahagaku hilang bahkan memberikan inspirasi yang tak terhingga,” ucapku dalam hati. Terkadang aku berdiskusi panjang dengan diriku sendiri. Apakah aku lebay? Hmm … tiba-tiba sore menyapa, mengingatkan sholat maghrib telah tiba. Kututup laptop, dan bergegas mengambil air wudhu untuk mempersiapkan masa depan yang lebih menjanjikan.
Tidak ada yang mampu memprediksi muara dari kehidupan seseorang sampai dimana akhirnya, seperti bab-bab yang ditulis oleh para penulis apa yang menjadi keinginannya jauh dari harapan pembacanya. Keinginan pembaca mungkin lebih tak terduga, lebih ekstrim-nyeleneh, menginginkan sesuatu yang jauh dari imajinasinya atau khayalannya. Mereka mungkin menggunakan kaca mata yang berbeda. Terkadang pembaca lebih genius! Ketika aku menyaksikan ESARET-Drama seri Turki, aku sudah menyimpan dalam pikiranku beberapa versi. Aku tidak sombang. Aku memiliki banyak versi, dan aku hanya berandai-andai. Mungkin versiku lebih menarik dari penulis aslinya, Ümit Değirmenci dan tim (Bahar Erensayin, Oğuzhan İslamoğlu, dan Başak Yazi Odası). (he he he).
Digenggamanku hp android, kutekan tombol icon youtube untuk mencari Esaret chanel. Sudah memasuki episode 254. Dan aku selalu menantikan di setiap episodenya dengan penuh antusias. Bukan karena cerita atau viewnya yang menawan, pemeran utama menghipnotis penontonya. Mereka begitu sempurna memainkan lakonnya. CENK TORUN & MAHASSINE MERABET. Mungkin di lain kesempatan aku akan mengulas drama Turki yang satu ini.
Beberapa catatan yang mengganggu
akan aku sematkan. Beberapa adegan yang aku suka, dan terkadang membuat aku
sedikit kesal-terbakar emosi. Ketika aku menyaksikannya logikaku pun juga ikut
memperdebatkannya. Apa yang perlu dan tidak perlu. Mana bagian adegan yang
seharusnya tidak ada, plot cerita yang seharusnya digambarkan detailnya, mana
yang seharusnya dipersingkat. Menulis cerita/scenario juga harus proporsional,
bukan soal penonton terpuaskan atau penasaran dibuatnya. Cerita yang buruk
membuat pemeran utama akan tampak bodoh. Atau sound effects yang tak
sesuai di beberapa adegan, menjadikan setiap bagian scennya terasa hambar.
Aku tak akan membahas itu secara jauh mungkin di lain waktu. Menonton film/drama akan aku lakukan, bukan sekedar memenuhi kebutuhan rohaniku, atau sekedar hiburan. Satu tahapan penting menemukan inspirasi atas tulisan-tulisanku. Aku suka dengan quote yang mereka sematkan dan menjadi bahan renunganku dalam menapak kehidupan yang keras dan terkadang di luar ekspektasiku. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa kata-kata memiliki karakteristik yang begitu unik. Mereka tampak hidup, seakan-akan memelukku dan memberikan beragam warna harapan. Tentu sebagai manusia, kata-kata memberikan banyak makna. Aku tampak begitu utuh, seperti galaksi yang memiliki ratusan miliar bintang-bintang. Kata-kata adalah bintangnya. Aku adalah galaksi di alam semesta. Sebuah sistem masif yang terikat gaya gravitasi yang terdiri atas karakteristik kata-kata yang berbeda yang melekat dan dimiliki. Yah kata-kata terikat oleh gravitasi, mereka mampu melambung tinggi bahkan sampai menembus ke langit ketujuh, dan dapat kembali ke bumi dengan sempurna. Doa yang dipanjatkan.
Aku suka, ketika aku mengatakan bahwa aku adalah salah satu galaksi yang ada di alam semesta. Dan kata-kata adalah miliaran bintang-bintangnya. Itu berarti bahwa aku akan mampu menulis sebanyak yang aku inginkan, tapi aku bukan Imam Suyuthi pengarang dari 600 kitab yang memanfaatkan waktunya dengan sangat baik. Beliau lahir tahun 1445 M dan wafat tahun 1505 M. 60 tahun, selama hidupnya beliau telah menghabiskan waktu untuk hanya hal-hal yang bermanfaat, Allah SWT merahmatinya!
Aku tak pernah membayangkan tentang malam-malam yang kuhabiskan, tidur berselimut kata-kata. Bukankah manusia akan terganggu atau merasa nyaman dengan kata-kata yang menari-nari di kepala, terucap dari mulut orang lain? Kata-kata juga membuat kita tertawa terbahak-bahak seolah-olah dunia penuh dengan keceriaan. Terkadang aku sedih, mengapa kata-kata begitu berkuasa. Lihatlah para pejabat, mempermainkan nasib jutaan rakyatnya hanya dengan kata-kata, begitu ringannya seolah-olah neraka atau hukuman Tuhan tak akan datang mendera mereka. Mungkin aku harus menunggu akhir dari hidup mereka, siapa yang tahu.
Tak terasa aku telah menulis 1000 lebih kata, malam sudah larut tapi aku masih ditemani secangkir teh. Untuk usiaku yang tidak muda bukankah minuman berkafein, seperti teh tak baik untuk kesehatanku? Dapat mengurangi kualitas tidur? Ahhh … lagi-lagi aku tak peduli! Satu hal yang masih aku pedulikan adalah kata-kata, mereka seperti makhluk hidup.
Hanya saja jenisnya seperti apa aku belum tahu. Andai ada kamera resolusi tinggi yang mampu mengidentifikasi bentuk atau karakter dari kata-kata, mungkin aku akan sangat berterima kasih. Aku harus menggunakan kemampuan fotografi makro sehingga menjangkau objek yang lebih halus sekalipun. Mungkin kata-kata memiliki duri atau tanduk, memiliki warna yang sempurna dan indah. Siapa yang tahu … .
Jakarta, 10 September 2025
No comments:
Post a Comment