Education Quotes

Jendela

Wednesday, March 17, 2021

DUA SISI MATA UANG

Pernahkah kita sebagai guru merenung, sejak menjadi guru kehidupan kita lebih baik di bandingkan sebelumnya, terutama hal yang berkaitan dengan kesehatan mental kita? Satu pertanyaan yang menjadi pemikiran saya akhir-akhir ini, dengan begitu banyaknya permasalahan hidup yang di hadapi siapa pun, termasuk guru. Sebenarnya profesi guru bukan pilihan utama dalam hidup. Sebagaimana air yang mengalir, begitulah saya menjalani kehidupan. Mengikuti “panggilan alam”.

Pernah suatu hari saya mengunjungi salah satu guru yang hampir 16 tahun lamanya tidak pernah jumpa. Tidak ada yang berubah, kecuali pancaran kearifan di wajahnya. Saya tidak melihat perubahan fisik yang signifikan, masih tampak sama seperti ketika saya duduk di tingkat aliyah. Tampak awet muda, tetap enerjik. Terkadang dalam hati bertanya-tanya, kok bisa seperti itu ya?

Sebagai guru saya mempunyai keyakinan bahwa mengajar bukan hanya sekedar mentransfer pengetahuan saja, melainkan semua hal yang ada dalam diri kita (termasuk di dalamnya attitude, spirtual, intelegensi, moral dan emosi). Guru selain pengajar juga seorang pembelajar. Yang dipelajari bukan hanya bagaimana meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan formal atau informal, menghadiri berbagai pelatihan, berkolaborasi dan berinovasi, mampu mengembangkan intelegensi ganda dalam proses pembelajaran pada peserta didik, tetapi juga bagaimana ia mampu selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Sehingga di dalam dirinya terkumpul perilaku atau sikap yang baik, yang dapat menginspirasi dan mampu menjadi solusi ketika suatu hari menghadapi persoalan pelik seputar hubungan antara guru dengan siswa dan orang tua di sekolah.

“Bagaimana nih bu, anak saya susah sekali kalau dimintai bangun pagi. Selalu saja ketinggalan sholat subuhnya. Ujung-ujungnya saya yang ribut dengan anak”. Suatu waktu salah satu orang tua mengeluhkan kebiasaan kurang baik anaknya. Dalam menghadapi persoalan seperti ini guru tidak cukup hanya memberikan nasehat, menakut-nakuti tentang dosa dan neraka, tetapi harus mampu menyakinkan dan solusi yang diberikan dapat diterima secara logika, tentunya tetap dengan pendekatan yang persuasif.

Sebagai guru, saya pun dapat merasakan perubahan besar bagi diri saya sendiri. Menjadi pribadi yang penyabar, lebih terbuka (open minded) banyak memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk berkembang secara alami. Tidak cepat memvonis. Lebih mengkedepankan dialog, mau mendengarkan. Selalu berusaha positive thinking dan memberikan yang terbaik. 

Sebagai guru pembelajar, saya pun tidak akan berhenti belajar, tidak akan pernah puas. Terkadang kekurangan bahan materi atau metode pembelajaran yang diterapkan sudah usang, maka saya pun membutuhkan penyegaran. Saya tidak akan sungkan untuk terlibat dalam komunitas yang berbeda dengan mata pelajaran yang saya ampu, dengan tujuan mendapatkan hal-hal baru untuk dapat dikolaborasikan dalam upaya memperkaya metode pembelajaran di kelas. Tentu semuanya adalah sebuah proses menuju baik, yang akan berimbas pada akhirnya nanti pada peserta didik. Termasuk di dalamnya ketika saya tergabung dalam komunitas menulis.~nad

 

Nadiyah

Jakarta, 27 Februari 2021. Naskah pilihan dimuat dalam Antologi Pendidikan KMA-OP 28


Monday, March 1, 2021

MALAIKAT TANPA SAYAP

Deg! Tenggorokanku sedikit tercekat, ketika mengetahui Sakinah (bukan nama sebenarnya) sejak dari jam istirahat menungguku di depan pintu masuk kantor guru. Persis di depan pintu sejak beberapa menit yang lalu berjongkok dengan sesekali berdiri, mondar mandir menungguku. Mungkin hatinya gelisah dan sedikit tegang. Sedangkan aku bersiap-siap untuk menghadiri rapat setelah jam istirahat usai sekitar jam 10.15 pagi.

“Bu Nadiyah, sekarang kan giliran kelompok saya presentasi”, Sakinah sedikit merajuk mendekatiku. Awalnya wajahnya begitu sumigrah ketika melihatku keluar dari kantor guru. Dia berpikir aku akan masuk kelasnya. “Maaf ya bu nad ada rapat”. Dengan suara agak aku tekan sedikit.

“Yaa ibuuu ... “.  Giliran saya kapan lagi bu?” Ada segumpal kecewa di hatinya dari nada suaranya yang keluar dari mulut mungilnya. Aku tak dapat berbuat apa-apa selain melanjutkan langkahku menuju ruang meeting, meski pikiranku tak dapat lepas sepenuhnya untuk tidak memikirkannya.

Mungkin Sakinah dan kelompoknya sudah mempersiapkan bahan-bahan presentasi sejak minggu lalu, mengadakan rapat untuk pembagian tugas, menghafal bagian-bagian yang nantinya harus disampaikan dalam presentasi. Mungkin juga sampai mengorbankan tidur malamnya, waktu bermainnya, atau segudang kegiatan persiapan lainnya. Dan ketika hal itu telah siap untuk dipresentasikan, aku meng-cut begitu saja tanpa ada pemberitahuan sebelumnya,

Yah hari itu aku telah mengecewakannya dengan amat sangat, meski aku tahu tak sepenuhnya itu kesalahanku. Tetapi hal ini menjadi titik balik buatku dalam mengajar, untuk memikirkan lebih mendalam apabila suatu hari harus meninggalkan kelas. Aku harus memastikan apa yang aku lakukan harus dipertimbangkan baik dan buruknya terutama untuk murid-muridku. Aku harus memastikan kegiatan di luar mengajar harus dibatasi seminimal mungkin. Inilah yang kemudian menggugah kesadaranku tentang arti malaikat sesungguhnya. Mereka menggugah kesadaranku untuk selalu melakukan yang terbaik, berhati-hati dala bertindak, cermat dan penuh pengorbanan. Tentang arti malaikat, hal ini pernah aku diskusikan dengan rekan kerjaku. 

Seperti biasa setelah mengajar di jam ke empat, kami guru rehat beberapa menit, untuk sekedar minum dan makan makanan kecil atau melanjutkan sarapan yang tertunda. Karena bel di jam pertama sudah dimulai. 

"Murid-murid kita itu seperti malaikat. Karena merekalah kita guru menjadi pintar". Aku memulai diskusi kecil, sambil tak lepas menikmati hidangan seadanya, yang tak sempat disantap di awal pagi. 

"Malaikat? Malaikat dari mana? Mereka itu tidak bisa disebut malaikat, sudah akil baligh, genit, dan tidak punya rasa malu. Sudah kenal dosa". Rekan kerjaku sedikit nge-gas menimpali, kemudian melanjutkan : "Bu Nad, yang dimaksud seperti malaikat itu seperti anakku nih, umur empat tahun masih polos. Belum kenal dosa. Murid-murid kita kan umumnya usianya antara 13 – 15 tahun”. 

Apakah malaikat itu seperti yang dikatakan oleh rekan kerjaku itu? Aku hanya diam, tidak mengiyakan. Yang ada dibenakku, siapa pun yang mampu memberikan dorongan ke arah yang lebih baik dapat disebut malaikat, termasuk murid-muridku. Mereka mampu menggugah kesadaranku, untuk selalu melakukan yang terbaik. Benarlah apa yang disampaikan oleh guru ngajiku, bahwa yang membuat seorang guru itu pintar adalah murid-muridnya.~



Malaikat Kecilku

Mentari menyapa
Disela pagi yang teramat ripuh
Menebarkan aroma harumnya warna bumi
Meletupkan gairah
Mengingatkanku
Akan asaku yang kembali teruji
Menapak hari meraih mimpi

Diantara sekumpulan malaikat kecil
Di depan pintu gerbang sekolah
Tersenyum
Tulus menyambut
Wajah sumingrah
Dan mereka pun mengulurkan tangan
Tanpa ragu
Membimbingku sampai ke taman surga

Nadiyah, Jakarta, 11 November 2018


Nadiyah
Naskah pilihan dimuat dalam Antologi Guru Menulis KMA OP 27
Januari 2021