Mendapatkan guru kelas yang bijak dan penyabar adalah keberuntungan tersendiri bagi adikku. Di saat kelas lain tidak memperbolehkan orang tuanya ikut serta masuk ke dalam kelas mendampingi anaknya, bu guru Shinta justru memperbolehkannya.
Cerita hari pertama masuk sekolah mengingatkanku pada adikku, yang pada waktu itu berusia 7 tahun. Dan sudah waktunya untuk masuk sekolah SD. Dibandingkan dengan adik-adikku yang lain, adikku yang satu ini memiliki keistimewaan. Sejak usia 5 tahun dalam satu bulan ia mengalami sedikitnya tiga kali sakit panas di setiap bulannya, dan ini berlangsung cukup lama. Tentu ini berimbas pada penglihatannya. Dia harus menggunakan kacamata untuk membantu penglihatannya, agar tampak lebih baik.
Sebagaimana anak pada umumnya, hari pertama sekolah diantar dan di dampingi oleh orang tuanya. Begitu pula adikku diantar oleh ibuku. Aku dapat merasakan perasaannya pada waktu itu. ketidaknyamanan, rasa takut yang menyelimuti hatinya, dan ketidakpercayaan dirinya, ditambah dengan kacamata tebalnya itu. Sehingga ia tidak mau dilepas begitu saja oleh ibuku. Jadilah lebih dari delapan bulan ibuku mendampinginya, tidak di luar kelas melainkan di dalam kelas. Beruntung guru kelasnya memberikan kelonggaran dan toleransi yang tinggi, meskipun ada beberapa orang tua siswa lainnya yang mengajukan protes atas keputusannya itu.
Hampir setiap hari berbagai macam cerita
yang aku dapatkan dari ibuku tentang adikku itu dan gurunya, bu guru Shinta
(bukan nama sebenarnya), sungguh sangat menarik, menginspirasi dan menggugah
kesadaranku. Terkadang di saat luang, ibuku tak akan bosan-bosan untuk
mengulang cerita tentang bu guru Shinta itu lagi dan lagi. Seolah-olah sebagai reminder untukku, andai suatu hari nanti
aku menjadi seorang guru.
“Untung adikmu dapat guru kelas bu Shinta, coba kalau dapat guru kelasnya bu Ratih, adikmu ga akan sekolah. Setiap kali ada anak yang menangis, bu guru Ratih tidak akan segan-segan mengeluarkan anak tersebut ke luar kelas dan menutup pintu kelasnya dengan rapat”. Dengan kata-kata tandas yang dilontarkan ibuku menunjukkan bahwa guru kelas adikku itu begitu hebat, ideal, dan tampak begitu sempurna. Dan aku menangkap pesan implisit yang disampaikannya kepadaku, bahwa untuk menjadi guru ideal contohlah bu guru Shinta. Siapa yang pernah menduga pada akhinya suatu hari aku menjadi seorang guru, dan peristiwa ini semakin melekat di memoriku.
Betapa hebatnya bu guru Shinta di mata ibuku. Ibuku dengan sangat cermat menggambarkan kedua guru kelas dengan sangat baik. Bu guru Shinta tipe guru yang penyabar, toleran dan sepertinya mengerti tentang bagaimana menghadapi peserta didik seusia adikku, apalagi diawal tahun ajaran baru, semua akan tampak begitu asing dan butuh waktu untuk beradaptasi. Bukan berarti bu guru Ratih buruk, tidak. Yang aku tangkap keduanya memiliki kelebihan. Bedanya bu guru Ratih disiplin dan tegas. Dia tidak akan membiarkan kelas yang diampunya riuh penuh dengan suara-suara berisik dari peserta didik, yang berteriak, menangis, tidak tertib dan lain sebagainya. Yang diinginkannya setiap peserta didik dapat menerima materi pelajaran dengan tertib, tanpa adanya gangguan dari peserta didik lainnya, sehingga tercapai target sesuai tujuan yang hendak dicapai.
Sedangkan bu guru Shinta, ia akan membiarkan peserta didik menangis, berteriak memanggil orang tuanya yang berada di luar kelas, atau bersikap tidak tertib dan acuh. Mungkin dipikirannya, apa yang dilakukan oleh peserta didiknya itu hanya bersifat sementara, setelah 3 hari atau seminggu mereka akan mampu beradaptasi dan dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Baginya peserta didik harus diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dan mengenal lingkungan kelasnya dengan baik. Pada akhirnya berkat kebijaksanaan guru kelasnya, adikku mampu mengikuti pelajaran dengan baik, sampai pada akhirnya ia mampu untuk menjadi pribadi yang mandiri.
Siapa yang menyangka peristiwa ini
meninggalkan bekas yang begitu dalam dibenakku. Tanpa ibuku sadari telah
mengajarkan sesuatu yang lebih berarti dari hanya sekedar peserta didik
menerima materi pembelajaran. Sikap seorang guru dalam memperlakukan peserta
didiknya adalah hal yang utama. Bagaimana seorang guru harus mampu menciptakan
rasa nyaman, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya, sehingga tumbuh
kepercayaan diri peserta didiknya, dan dengan sendirinya mereka akan mampu
beradaptasi di lingkungan yang baru, menerima pelajaran dengan baik, dan senyum
merekah di wajah-wajah mereka.~
Nadiyah,
Jakarta 20 September 2021
Naskah pilihan dimuat
dalam Antologi Guru Menulis KMA OP 32