Tahun pelajaran baru aku mendapat kesempatan mengajar di kelas sembilan, semuanya kelas
perempuan. Tentu ada banyak perbedaan jika dibandingkan dengan kelas laki-laki,
suasana kelas yang riuh dan terkadang kurang tertib. Kelas perempuan berbanding
terbalik, suasana senyap terkadang hanya satu atau dua yang bertanya, itu pun
kalau aku memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertanya. Kurangnya komunikasi
dua arah menyebabkan kelas seperti kuburan. Pembelajaran lebih banyak satu
arah. Menurut Percival dan Ellington
pendekatan yang aku lakukan lebih berorientasi pada guru, padahal tidaklah
demikian. Aku berusaha seaktif mungkin melakukan komunikasi dua arah. Dengan
berbagai pertanyaan yang aku ajukan, dan sesekali diselingi dengan hal-hal yang
lucu.
Entahlah mungkin dipikiran mereka materi yang
aku sampaikan kurang menarik sehingga mood
dan responnya pun hampir tidak ada sama sekali. Hanya satu-dua siswa yang
merespon. Mereka umumnya hanya memperhatikan dan menyerap materi yang ku
sampaikan dengan perlahan. Begitu selanjutnya, sampai waktu pelajaran habis. Padahal
materi yang aku sampaikan terbilang begitu update,
menyajikan berbagai macam sumber dan informasi yang boleh dikatakan baru, dan
selalu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Meski materi tersebut terkadang
bersifat dokrinal.
Benarkah materi PPKn yang ku sampaikan kurang
menarik? Atau karena faktor miskin metode? Atau tipikal siswanya yang lebih
cenderung visual? Atau ... . Ada begitu banyak kata “atau” di kepalaku. Tapi aku
tidak kehabisan akal, sebagaimana sebelumnya, berbagai model pembelajaran aku
gunakan. Tentu yang akan aku gunakan adalah model pembelajaran yang disesuaikan
dengan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Kali ini aku menggunakan model
pembelajaran Problem Based Learning.
Model yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata. Dengan melakukan
perbandingan antara suatu peristiwa di Indonesia dan di negara lain, seperti
Jepang.
Bukankah anak-anak milenial suka akan hal-hal
yang berbau Asia, seperti Korea dan Jepang? negara yang banyak memproduksi film
atau drama, dan tontonanya selalu diminati oleh masyarakat tidak hanya di
kawasan Asia tapi juga di berbagai negara? Tidak ada salahnya aku menyandingkan
dan melakukan perbandingan dengan kehidupan bangsa lain. Mungkin ini akan lebih
menarik dan menumbuhkan antusias yang tinggi dalam belajar.
Pertama-tama aku tayangkan sebuah video yang
berisi tentang informasi suatu peristiwa Tsunami dan gempa bumi yang terjadi
belum lama ini di Indonesia dan di Jepang--mata pelajaran PPKn tidak membahas
penyebab terjadinya bencana alam tersebut--melainkan dari segi aspek perilaku
yang ditujukan oleh masyarakat terhadap bencana yang mereka alami dan dikaitkan
dengan materi yang aku sampaikan pada waktu itu tentang nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Setelah menyaksikan sebuah tayangan video,
aku meminta mereka membuat resume atau tepatnya sejenis laporan tentang suatu
kejadian yang seolah-olah mereka saksikan dengan kedua mata mereka, kemudian
memberikan pendapatnya terhadap peristiwa tersebut. Disinilah dituntut siswa
memiliki kecakapan dalam pencarian dan pengolahan informasi, serta kecakapan
dalam memecahkan masalah dan berfikir kritis melalui opini atau pendapat yang
mereka tuangkan dalam sebuah tulisan.
Hasilnya? Cukup mengagumkan. Mereka mampu
membuat resume atau laporan dengan baik. Aku pun berkesimpulan bahwa kurangnya
respon, seolah-olah komunikasi hanya satu arah bukan berarti mereka tidak
memahami dan menyimak materi yang aku sampaikan. Melainkan adanya perbedaan
tipikal siswa dalam menyerap materi yang disampaikan oleh guru. Butuh waktu
bagi mereka untuk menjadi seorang yang cakap dalam berkomunikasi dalam
melakukan umpan balik. Yang terpenting bagiku minimal mereka mampu menuangkan
dalam bentuk tulisan. Dan aku yakin mereka memiliki bakat untuk menjadi seorang
penulis atau jurnalis!
Nadiyah
Jakarta, 23 Agustus 2019